top of page

#Culture Agenda: Why, What, and How

Updated: Nov 3, 2024

Tulisan di bawah ini adalah terjemahan perspektif dari tulisan Dave Ulrich yang dipublikasikan melalui Linkedin. Dave Ulrih is a Speaker, Author, Professor, Thought Partner on Human Capability (talent, leadership, organization, HR) dari Michigan University, USA.


Mengapa Budaya Penting

Penelitian menunjukkan bahwa direktur perusahaan, auditor keuangan, dan eksekutif bisnis di Davos percaya bahwa “budaya” penting dan merupakan tantangan yang semakin besar dalam organisasi saat ini, terutama dengan sistem kerja hybrid ketika orang-orang tidak dapat bertatap muka.

Di dunia akibat pandemi COVID-19—ketika banyak karyawan yang bekerja di rumah sering kali terisolasi satu sama lain—kekompakan budaya dan sosial telah menurun, yang sering kali menyebabkan rendahnya skor pengalaman karyawan dan meningkatnya tantangan kesehatan mental.


Semua orang siap menerima bahwa “budaya” organisasi itu ada dan mempunyai dampak. Budaya beracun (toxic culture) memiliki disfungsi permusuhan (dysfunctions of hostility), ketidakpercayaan (mistrust), keegoisan (selfishness), pemikiran kelangkaan (scarcity thinking) dan pemimpin yang tidak sensitif yang menurunkan produktivitas, retensi karyawan, penemuan kembali strategis, kepercayaan investor, dan kepuasan pelanggan. Sebaliknya, budaya yang melimpah (abundant culture) mempunyai efek positif. Menciptakan budaya yang tepat akan memungkinkan organisasi untuk berkembang dan menang dalam persaingan di pasar.


Apa Arti Budaya

Seperti disebutkan di atas, “budaya” memiliki banyak definisi, bahkan dalam lingkungan organisasi. Izinkan saya menyarankan tiga gelombang historis dalam melihat budaya organisasi dan gelombang keempat yang muncul (lihat gambar 1).



Gelombang 1: Budaya sebagai nilai dan perilaku. Individu dan organisasi mempunyai nilai-nilai yang membentuk perilaku. Nilai-nilai ini dapat diidentifikasi sebagai budaya organisasi, dan perilakunya dapat dilacak untuk menentukan jenis budayanya.


Gelombang 2: Budaya sebagai sistem atau iklim. Budaya perusahaan terlihat dalam cara informasi, keputusan, keragaman, akuntabilitas (dan proses lainnya) dikelola. Sistem ini menentukan iklim suatu organisasi.


Gelombang 3: Budaya sebagai pola atau norma. Siapa pun yang memasuki suatu perusahaan menyadari aturan atau ekspektasi yang tidak terucapkan tentang bagaimana pekerjaan dilakukan. Pola-pola ini menjadi cara kerja yang diterima.


Ketiga gelombang budaya ini (nilai, sistem, dan pola) berfokus pada apa yang terjadi di dalam organisasi. Dalam beberapa nomenklatur, kata-kata tersebut merupakan “akar” pohon dan tertanam dalam cerita, sejarah, dan ritual, baik yang diucapkan maupun yang tidak diucapkan. Definisi internal tentang budaya ini berkembang ketika karyawan bersama-sama berbagi nilai, proses kerja, dan merasakan norma-norma yang sama.


Gelombang 4: Budaya sebagai identitas di pasar. Pandangan yang muncul mengenai budaya adalah memastikan bahwa budaya tersebut adalah budaya yang “benar”, yang berarti bahwa budaya di dalam suatu organisasi menciptakan nilai bagi pemangku kepentingan di luar (pelanggan, investor, dan komunitas). Dalam pandangan outside-in ini, budaya adalah tentang nilai nilai bagi pelanggan atau investor dan sejauh mana sistem dan norma internal meningkatkan pangsa pelanggan, kepercayaan investor, atau reputasi komunitas. Pandangan budaya outside-in ini bukan tentang akar pohon (yang seringkali sulit diubah) dan lebih banyak tentang daun pohon, yang secara metaforis berubah pada musim yang berbeda.


Pandangan budaya outside-in ini mengintegrasikan tujuan, nilai-nilai, dan merek untuk menciptakan budaya yang “benar”, yaitu budaya yang menciptakan nilai bagi seluruh pemangku kepentingan. Dalam fokus budaya ini, penciptaan nilai bagi pemangku kepentingan eksternal lebih penting daripada cara karyawan bekerja. Perubahan budaya dimulai dengan mengidentifikasi apa yang ingin dikenal oleh suatu organisasi di pasar. Kemudian kami menjadikan identitas eksternal tersebut nyata bagi karyawan di dalam organisasi (gambar 2).



Bagaimana Menciptakan atau Mengubah Budaya

Saya dan rekan-rekan saya telah terlibat dalam berbagai transformasi perubahan budaya. Sering kali, mereka memulai dengan retorika pujian namun kemudian mandek dengan sedikit perubahan yang berkelanjutan. Ketika kita telah melihat keberhasilan transformasi budaya, hal ini dimulai dengan kasus bisnis untuk budaya (mengapa budaya penting), kemudian menggunakan definisi budaya outside-in (apa arti budaya), kemudian diimplementasikan dalam lima langkah (lihat gambar 3).




Langkah 1: Tentukan budaya yang diinginkan. Tanyakan kepada para pemimpin internal dan pelanggan eksternal tentang organisasi Anda ingin “dikenal” sebagai apa agar efektif. Identitas ini menjadi identik dengan merek yang diinginkan sehingga mendorong pelanggan untuk membeli dan investor untuk berinvestasi. Berusahalah untuk menciptakan sebuah kesepakatan yang tinggi (lebih dari 80 persen) dalam menemukan jawaban atas pertanyaan ini.


Langkah 2: Bangun agenda intelektual yang top-down. Budaya yang diinginkan perlu dikomunikasikan berulang kali. Pesan budaya bersama (shared cultural message) ini dapat muncul dalam pidato internal, pertemuan town hall, media sosial, buletin, dan mekanisme komunikasi lainnya. Pesan yang sederhana dan berulang membentuk agenda intelektual tentang budaya yang diinginkan.


Langkah 3: Mendorong agenda perilaku yang bersifat bottom-up. Ide dan pesan budaya mengalir ke bawah—perilaku dan tindakan mengalir ke atas. Tanyakan kepada kelompok karyawan di seluruh organisasi Anda apa yang dapat mereka lakukan lebih atau kurang untuk mewujudkan budaya yang diinginkan dalam aktivitas mereka sehari-hari. Pesan budaya mengubah perilaku karyawan.


Langkah 4: Rancang dan laksanakan suatu proses, agenda dari sisi ke sisi. Budaya terjalin dalam proses organisasi seputar sumber daya manusia (perekrutan, pelatihan, penggajian), pengambilan keputusan strategis, alokasi sumber daya, dan pilihan tata kelola lainnya. Proses organisasi harus memperkuat budaya yang diinginkan.


Langkah 5: Ciptakan leadership brand. Kami telah mengusulkan agar kompetensi kepemimpinan yang tepat harus diselaraskan dengan janji yang dibuat kepada pelanggan, sehingga menciptakan leadership brand. Karyawan sering kali melakukan apa yang dicontohkan oleh pemimpin, dan ketika pemimpin berpikir dan bertindak konsisten dengan harapan pelanggan, tindakan mereka memperkuat budaya yang diinginkan. Kami telah mendorong perusahaan-perusahaan yang membuat program periklanan untuk mengalokasikan sebagian dari anggaran pemasaran eksternal ini untuk pelatihan kepemimpinan internal mengenai isu yang sama.


Kelima langkah ini bukanlah naskah yang sempurna untuk agenda perubahan budaya, namun merupakan pedoman sederhana untuk pendekatan perubahan budaya yang menciptakan nilai bagi pelanggan dan mengubah aspirasi budaya menjadi tindakan sehari-hari.


Implikasi

Jadi, apa yang disarankan melalui pedoman budaya ini?

  • Jangan hanya bicara tentang cita-cita budaya, kaitkan dengan nilai pelanggan dan investor sehingga budaya mempunyai dampak terhadap pasar.

  • Jangan hanya mendiagnosis apa yang terjadi dengan budaya, berikan panduan tentang apa yang harus dilakukan untuk menciptakan budaya yang tepat.

  • Jangan mengukur budaya dengan retorika melainkan dengan hasil dari karyawan, strategi, pelanggan, dan investor.

  • Jangan biarkan budaya menjadi sebuah abstraksi, melainkan serangkaian aktivitas konkrit dan terpadu yang dibangun berdasarkan tindakan intelektual, perilaku, dan proses.

  • Jangan ragu untuk memastikan bahwa para pemimpin di semua tingkatan berpikir, bertindak, dan merasa konsisten dengan budaya yang diinginkan.


Recent Posts

See All

Comentarios

Obtuvo 0 de 5 estrellas.
Aún no hay calificaciones

Agrega una calificación
bottom of page